INFO KABAR JAMBI – Muaro Jambi – Perhelatan Borobudur Writer and Culture Festival (BWCF) 2024 yang digelar di Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muara Jambi menuai kekecewaan dari warga setempat. Pemerintah desa, warga, dan pelaku seni budaya di Desa Muara Jambi mengungkapkan keprihatinannya karena tidak dilibatkan dalam acara berskala internasional tersebut, yang berlangsung pada 19-23 November 2024.
BWCF ke-13 mengusung tema besar “Membaca Ulang Hubungan Muarajambi-Nalanda dan Arca-arca Sumatera dalam Mengenang Satyawati Suleiman” dengan berbagai kegiatan seperti simposium, pertunjukan seni, dialog sastra, hingga meditasi. Meski digelar sepenuhnya di KCBN Muara Jambi dengan pembukaan di Kota Jambi, masyarakat setempat mengaku tidak mendapatkan sosialisasi maupun peran berarti dalam kegiatan tersebut.
Warga: Masyarakat Hanya Dijadikan Objek Proyek
Andri, salah satu warga Desa Muara Jambi, menyayangkan eksklusivitas acara ini. Menurutnya, masyarakat yang tinggal di sekitar situs bersejarah sering kali hanya dijadikan objek proyek tanpa diikutsertakan secara substansial.
“Kalau masyarakat dilibatkan, mereka akan merasa bertanggung jawab untuk merawat dan memiliki tinggalan sejarah ini. Sayangnya, dari awal tidak ada sosialisasi, jadi kami tidak tahu-menahu soal acara besar yang membahas warisan budaya kami sendiri,” ujar Andri dengan nada kecewa.
Ia menekankan pentingnya keterlibatan komunitas lokal secara inklusif, bukan hanya segelintir orang. “Jika masyarakat menjadi subjek, mereka akan merasa dihargai dan termotivasi untuk melestarikan budaya. Ini justru bisa memperkuat hubungan antara warisan budaya dan masyarakat yang hidup di sekitarnya,” tambahnya.
Potensi Hilang, Harapan untuk Keterlibatan
BWCF 2024 didukung oleh Dana Indonesiana Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia dan diisi dengan berbagai program prestisius, seperti pidato kebudayaan, peluncuran buku, podium sastra, hingga malam musik dan tari. Sayangnya, potensi melibatkan masyarakat lokal untuk menjadi bagian aktif dalam rangkaian acara tersebut seakan diabaikan.
Kegiatan ini menjadi refleksi penting akan perlunya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan dan pelestarian warisan budaya. Dengan keterlibatan langsung, masyarakat setempat dapat menjadi agen pelestarian sekaligus pendorong keberlanjutan pariwisata berbasis budaya.
Kekecewaan ini menjadi pengingat bahwa warisan budaya bukan hanya tentang acara megah, tetapi juga tentang memperkuat hubungan antara masyarakat lokal dan kekayaan sejarah yang mereka warisi. Pemerintah dan penyelenggara diharapkan mengambil pelajaran dari situasi ini untuk lebih memberdayakan masyarakat dalam setiap program budaya di masa depan.