1. Pendahuluan
Melakukan eksekusi objek jaminan fidusia tanpa melalui pengadilan negeri adalah tindak pidana. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020, serta diperkuat oleh Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021 tanggal 31 Agustus 2021, eksekusi kendaraan atau objek lain yang menjadi jaminan fidusia harus mematuhi prosedur hukum yang berlaku. Jika hal ini diabaikan, tindakan tersebut dapat dianggap melawan hukum baik dalam ranah pidana maupun perdata.
2. Bentuk Pelanggaran
Perbuatan melawan hukum yang sering terjadi mencakup penarikan, penyitaan, dan penjualan kendaraan tanpa memenuhi prosedur hukum. MK telah menegaskan bahwa:
- Pasal 15 Ayat 2 UU Jaminan Fidusia (UUJF) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat jika tidak dimaknai bahwa eksekusi hanya dapat dilakukan apabila terdapat kesepakatan wanprestasi antara kreditur dan debitur atau berdasarkan keputusan pengadilan.
- Wanprestasi tidak dapat ditentukan sepihak oleh kreditur, tetapi harus melalui kesepakatan atau putusan hukum yang sah.
3. Prosedur Eksekusi yang Sah
Untuk melakukan eksekusi jaminan fidusia, kreditur wajib mematuhi prosedur berikut:
- Melakukan somasi secara bertahap kepada debitur (SP1, SP2, SP3).
- Jika tidak ada kesepakatan, mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan negeri.
- Meminta bantuan pengamanan kepada pihak kepolisian sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2011.
Eksekusi tanpa memenuhi syarat ini, seperti tidak menunjukkan sertifikat fidusia yang sah atau surat kuasa dari perusahaan pembiayaan, merupakan pelanggaran hukum.
4. Pelanggaran Hukum
Tindakan penarikan atau penyitaan yang dilakukan tanpa prosedur dapat dikategorikan melanggar:
- Hukum Pidana, yaitu Pasal 363 KUHP tentang pencurian, Pasal 378 KUHP tentang penipuan, dan Pasal 372 KUHP tentang penggelapan.
- Hukum Perdata, seperti diatur dalam UUJF dan Putusan MK yang melarang eksekusi sepihak tanpa melibatkan pengadilan.
5. Contoh Kasus Nyata
Dalam satu kasus, debitur yang telah mengikuti program restrukturisasi karena pandemi COVID-19 tetap mengalami penyitaan kendaraan secara sepihak. Tindakan ini tidak hanya melanggar hak debitur tetapi juga bertentangan dengan Putusan MK dan perjanjian awal. Kreditur bahkan menetapkan angka pelunasan yang jauh melebihi kewajiban debitur tanpa dasar hukum yang jelas.
6. Kesimpulan dan Penutup
Kesimpulannya, penarikan kendaraan sebagai objek jaminan fidusia tanpa melalui pengadilan merupakan tindak pidana. Tindakan ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan putusan MK. Selain itu, segala bentuk penarikan yang dilakukan dengan tipu daya atau kebohongan melanggar Pasal 378 KUHP. Oleh karena itu, perusahaan pembiayaan harus mematuhi prosedur hukum untuk menjaga kepatuhan terhadap hukum dan hak konsumen.
Jambi, 29 Maret 2024
Penyusun:
DIAN BURLIAN, SH., MA